Ganbatte...!!!

semangat adalah tujuh huruf ajaib yang akan mengubah hidup. karena terdapat motivasi yang akan menjadi a reason for DO SOMETHING

Akulah Dia!

Written by keisya azka sitta on 06.07

Lihat bintang yang berbaris langit

Lihat deru ombak sana

Lihat pemuncak tinggi

Lihat satu semua

Semua satu

Arung!

Sebrang!

Naik!

Ingat mimpi lalu

Ingat harapan slalu

Ingat do’a dungu

Akulah dia!



Jangan Sentuh Hatiku!

Written by keisya azka sitta on 06.03


Pergi!

Enyah!

Jangan sentuh hatiku

Jangan raba rasaku

Jangan ambil jantungku

Jangan ambil jiwaku

Jangan sentuh hatiku

Jangan hilang dariku…




Wanita Fatamorgana Dunia

Written by keisya azka sitta on 21.42

Uniknya, para wanita!

Sadarkah kita, akan peran wanita dalam kehidupan? Ibarat pintu yang terkunci, maka dibutuhkan kunci untuk membuka pintu itu. Dan seperti itulah, wanita. Wanita adalah kunci untuk menjalankan roda kehidupan. Kita contohkan saja, bila wanita tidak hadir dalam sebuah keluarga, akan jadi apa? Tidak adanya peran seorang istri yang setia mendampingi suami, ataupun lenyapnya peran ibu, hanya akan membawa kegalauan. Keluarga yang kehilangan peran istri atau ibu, hanyalah ibarat kapal yang kehilangan arah tujuan. Lalu di manakah, peran wanita ? Sampai-sampai begitu urgennya untuk disadari. Jika kita berpikir sejenak, sebenarnya semua hal yang dilakukan oleh wanita bisa juga dilakukan oleh laki-laki. Misalnya mengurus rumah, memasak, mencuci, mengurus anak, dan mendidik. Hal itu mungkin saja menjadi sangat mudah dikerjakan oleh laki-laki, tapi hasilnya tidak akan sama jika yang mengerjakan itu semua adalah wanita. Mengapa demikian? Tentu saja ada yang membedakan, karena wanita memiliki kelebihan yaitu naluri. Naluri yang akan membawa wanita untuk mengejakan semua hal itu menjadi sempurna.

Naluri adalah fitrah yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta, maka naluri yang ada dalam diri wanita, adalah kelebihan wanita dibanding laki-laki. Apakah naluri itu?

Generasi Madesu, Salah Siapa?

Written by keisya azka sitta on 21.35

Menurut penelitian, menyatakan bahwa keluarga dan sekolah atau kampus sama sekali tidak berperan dalam mengsosialisasikan bahaya HIV/AIDS. Sekolah atau kampus justru menjadi tempat yang paling aman untuk mendapatkan serta mengkonsumsi narkoba.

Generasi madesu adalah generasi yang tak mungkin bisa diharapkan untuk kemajuan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Generasi madesu adalah generasi yang hanya mengenal kata malas dalam kamus hidupnya. Tak ada gambaran bagaimana untuk kehidupannya kelak, yang hanya ada adalah bagaimana nanti. Yang menimbulkan efek kurangnya rasa tanggung jawabnya, kurang disiplin, dan sedikit sekali memiliki rasa bersalah.

Lalu jika sudah demikian, siapa yang patut disalahkan? Rasanya tak patut mencari siapa yang salah, yang benar adalah mencari solusi tepat secara bersama, baik dari kita sebagai individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dan tentunya setiap elemen tadi memiliki fungsi dan peran yang berbeda dalam mengambil sebuah keputusan dalam menghadapi persoalan. Jelas saja, kita sebagai individu membuat tameng dalam diri kita, kita jadikan keluarga adalah tempat menumpahkan kasih sayang, masyarakat adalah elemen unik untuk kita dalam proses pematang diri, serta pemerintah yang bekerja dengan segala kebijakan untuk kemakmuran rakyatnya.

Virus Itu Kian Menyerang…

Memiliki generasi gatot kaca untuk negeri ini, adalah menunjukkan bangsa ini, adalah bangsa yang mau selangkah lebih maju. Tapi, rasanya kita harus mengelus dada kita masing-masing, saat menyadari bangsa ini mulai kehilangan identitasnya, saat generasi penerusnya tak lagi mempedulikan ke arah mana bangsanya akan berlayar. Generasi muda bangsa ini sedang dicekoki kehidupan glamour nan hedonis, sehingga setiap anak mudanya tak lagi mau melirik ke sesamanya, mereka hanya disibukkan dengan urusannya masing-masing yang berpacu dengan waktu.

Karena begitu lemahnya mental bangsa ini, sehigga begitu mudah virus-virus pembunuh masuk secara perlahan dalam diri kita. Bukan bermaksud apriori terhadap sebuah golongan, tapi memang pada kenyataannya “pengkerdilan karakter” sedang gencar dilakukan bangsa Barat tehadap negara-negara yang dekat atau berbau Islam.

Konsep Barat dalam menjatuhkan kini, tak lagi ngetrend dengan memerangi secara terbuka, mungkin alasannya karena terhambat oleh HAM dan PBB. Konsep baru yang mereka pakai, lebih dikenal dengan “perang pemikiran” atau dalam islam, hal itu lebih dikenal dengan ghozwul fikr, dimana tak lagi menyerang secara fisik, tapi bagaimana caranya menyerang mental, hingga menjadikan objeknya mati segan hidup pun tak mau.

Cara yang dipakai dengan menggunakan tiga formula jitu, yang di kenal F 3, yaiu: dengan food, fashion dan fun. Dan dengan sangat kebetulan bangsa Indonesia identik dengan Islam, bukan karena bangsa ini berazaskan Islam, hanya karena Indonesia hadir sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Dan bukan berarti juga membuat sebuah apologi, bahwa bangsa kita terpuruk akibat menjadi sasaran empuk para musuh Islam. Dan tidak pula untuk menyesali kondisi tersebut, Indonesia tetaplah merah-putih dan Islam tetaplah rahmatan lil ‘alamin.

Cari Jalan Bebas Hambatan aja!

Kaum muda berekspresi dengan nakal dan membangkang, diangggap sah-sah saja jika masih berada pada batas kewajaran. Tapi, bagaimana jika yang terjadi adalah, kenakalannya sudah berada di atas kewajaran, sampai-sampai melanggar nilai etika, norma serta hukum yang berlaku. Sebut saja penyalahan obat terlarang di kalangan remaja, sebagai salah satu contohnya.

Dari dunia kedokteran melaporkan bahwa sekitar 70 persen pelaku penyalahgunaan narkotika adalah remaja. Dan dari penelitian yang dilakukan Asian Harm Reduction Network (AHRN) terhadap remaja pengguna narkoba atau nazpa di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Depok menemukan bahwa mreka mengkonsumsi obat terlarang pada umur 9 tahun. Kebanyakan mereka memulai dengan mengkonsumsi boti (obat tidur) seperti diazepam/valium. Sisanya memulai dengan mengkonsumsi ganja.

Belum lagi menurut laporan yang disampaikan oleh Kompas Cyber Media, pada tanggal 5 Februari 2001, dari dua juta pecandu narkoba, 90 persen adalah generasi muda, termasuk 25.000 mahasiswa. Kalau saja tahun 2001, penggunanya sudah “bejibun”, lalu bagaiman dengan tahun 2007? Karena itu, jelas narkoba atau nazpa menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa.

Yang menjadi pertanyaan mendasar, mengapa kecendrungan peningkatan pengguna narkoba ada di kalangan remaja?. Sejatinya remaja adalah masanya untuk mencari jati diri, maka secara psikologis kaum muda ini, selalu diliputi rasa keingin tahuan yang besar, penasaran, dan mudah terpengaruh. Belum lagi ditambah dari aspek eksternal remaja itu sendiri, bobroknya pendidikan dalam keluarga dan agama, kurangnya pendidikan secara formal, tidak memiliki keterampilan positif atau berada hidup di lingkungan masyarakat yang kurang kondusif termasuk juga provokasi yang dilakukan media yang tak mendidik. Sehingga ketika kaum muda ini tertimpa masalah, tak ada tempat untuk mendapatkan solusi, merasa sendiri, kemudian putus asa, yang pada akhirnya meng-isolir dirinya.

Pada kondisi seperti itulah, remaja mudah terjebak dalam lembah nista. Ada banyak hal yang mereka bisa lakukan untuk melupakan sejenak kepenatan beban hidup. Dan cara yang paling ekstrim dilakukan adalah nge-seks dan ngedrugs. Ngedrugs, menurut pengalaman para penggunanya, bahwa obat terlarang itu memberikan efek langsung, seperti kesenangan yang hebat , merasa sehat dan juga mengurangi rasa sakit. Mereka mencari cara termudah mendapatkan kesenangan sesaat, kondisi seperti itu yang diharapkan para pengguna. Namun saat si pemakai sudah keseringan, maka akan menimbulkan efek ketergantungan terhadap obat-obat terlarang itu. Dan bertambah dengan resiko tertular virus hepatitis C dan AIDS lewat suntikan yang tidak streril, bagi pengguna obat terlarang jenis amphetamine seperti shabu-shabu atau heroin seperti putauw. Dalam 2-3 tahun berikutnya, mayoritas akan berpindah pada penggunaan narkoba suntikan.

Kalau sudah demikian jelas, jika penggunaan obat terlarang itu memiliki tingkat bahaya yang tinggi. Tingkat bahayanya dapat dibedakan menjadi bahaya dari segi hukum dan bahaya dari segi kesehatan. Seperti diketahui, dalam UU Narkotika dan UU Psiktropika, semua orang yang terlibat dapat dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, bahkan hukuman mati. Dan yang bisa dijarat, adalah mereka yang berlaku sebagai produsen, penyalur dan pemakai dengan tingkat hukuman yang bervariasi.

Jika dilihat dari segi kesehatan, bahayanya berbeda tergantung dari jenis obat yang digunakan. Yang pasti semua obat terlarang menyebabkan adiksi. Adiksi yang ditimbulkan menyebabkan para pengguna ketagihan dan kemudian ketergantungan itu mengganggu fisik dan psikisnya. Dan kecanduan, bisa dikenali dengan beberapa tanda-tanda, diantaranya:

  1. Keasyikan, untuk menggunakan lebih banyak lagi.

  2. Toleransi yang meningkat, dalam penggunaan yang terus-menerus meningkat, sehingga lebih banyak lagi merasakan pengaruhnya sekaligus menjadi kebal terhadap pengaruhnya.

  3. Hilang kendali, saat ketergantungannya tak bisa dihilangkan.

  4. Suasana hati berubah-ubah, akibat pengaruh obat-obat terlarang yang sedang bekerja dalam tubuhnya.

  5. Bersembunyi, saat menggunakan obat terlarang itu.


Pak, Mutu Sekolah Kita Rendah!

Masyarakat sudah sangat paham dengan mutu pendidikan di negeri ini. Posisi SDM dan peringkat perguruan tinggi kita merosot amat rendah dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Singapura maupun Malaysia. Oleh karena itu, bagi orang-orang berkantong tebal dan berpikir praktis mungkin akan timbul pemikiran untuk apa capek-capek meraih kesarjanaan formal yang hasilnya juga tidak membuat "lebih pintar", tidak siap kerja, lama selesainya, dan biaya yang dikeluarkan pun tidak jauh berbeda dengan "sarjana yang dibeli". Orang-orang seperti inilah yang kemudian tanpa ragu dan malu, memejeng gelar palsu. Hal ini bisa terjadi karena masyakarat terkadang sulit membedakan mutu antara gelar sarjana sungguhan dengan gelar sarjana belian. Mungkin itu salah satu dampak dari rendahnya mutu sekolah di Indonesia, belum lagi ditambah kasus-kasus lain yang terjadi, seperti: budaya menyontek, mahasiswa fotocopy, plagiat skripsi, sampai pada fenomena ayam kampus sepertinya sudah mendarah daging.

Mengingat sejarah, pada tahun 70-an, mungkin kita masih bangga dengan bangsa ini. Kala itu banyak sekali tenaga-tenaga pengajar yang diekspor ke negara tetangga, Malaysia. Namun, yang terjadi sekarang, Indonesia tak lagi mengekspor guru, namun buruh-buruh yang siap menerima nasib yang tidak meng-enakkan. Belum lagi melihat hasil survei, ternyata kemampuan para pelajar kita dalam bidang Matematika dan IPA, pada usia 18 tahun nyaris berada di posisi terbawah dari kemampuan rata-rata anak didik di 88 negara. Ironis memang!

Sudah Merdeka, Belum Sih?

Secara harfiah, kemerdekaan adalah kemandirian hidup, kebebasan, dan ketegasan. Dalam kamus, kemerdekaan diartikan sebagai self governing, free from intimidation, acting or thinking upon one’s own-line. Kemerdekaan hidup seperti yang termaktub dalam teks proklamasi adalah hak (asasi). Menurut hukum sebab akibat hak adalah akibat yang diciptakan oleh sebab bernama kewajiban. Hukum alam menjadikan kewajiban sebagai syarat mutlak mendapatkan hak atau menyuruh mendahulukan kepatuhan terhadap kewajiban ketimbang mendahulukan tuntutan hak. Sayangnya kita secara mental-kultural lebih menomorsatukan hak dari pada kewajiban, minimalnya dalam ungkapan pembahasaan hidup harian. Mulut kita sudah terlatih mengucapkan hak dan kewajiban ketimbang kewajiban dan hak. Secara mindset kita lebih berat memikirkan apa yang tertinggal (dari hak) ketimbang memikirkan apa yang kita tinggalkan (dari kewajiban).

Tegaskan dirimu!

Ketegasan adalah kemampuan menyelaraskan apa yang kita putuskan di tingkat kreasi mental dengan apa yang kita lakukan (eksekusi) di tingkat kreasi fisik sesuai proses yang sudah diakarkan pada prinsip. Kreasi mental baru angka nol kalau tidak diolah berdasarkan proses yang berprinsip tidak beranak menjadi angka satu yang berkelanjutan menjadi dua, tiga dan seterusnya tetapi tetap angka nol atau hanya satu. Dalam praktek harian, hampir seluruh konsep hidup itu bagus tetapi tidak selamanya menghasilkan praktek (hasil) yang bagus. Sebabnya bukan karena tidak tahu atau tidak mampu tetapi kurang tegas dalam memperjuangkan proses menurut akar prinsip.

Ketegasan juga punya arti keputusan yang kita putuskan dengan memutuskan atau pilihan hidup yang kita tentukan dengan kesadaran memilih. Masalah pelanggaran yang kerapkali kita lakukan terhadap hukum memilih (baca: life is choice and consequence) adalah lupa atau tidak sadar bahwa kita telah menentukan pilihan.

Kedua arti ketegasan di atas adalah kemerdekaan. Kalau kita sering menyimpang dari jalur proses yang benar maka kita akan dijajah oleh kesalahan atau kegagalan yang bertubi-tubi. Kita dibikin capek oleh nafsu bongkar-pasang konsep hidup karena praktek coba-coba bukan uji coba. Teori manajemen mengajarkan, buatlah rencana dengan cepat tetapi jangan cepat-cepat mengubah rencana kalau inspirasi untuk mengubah tidak datang dari melakukan rencana. Demikian juga kalau kita sering lupa atau tidak sadar. Agar kita selalu ingat maka langkah yang bisa kita lakukan adalah pembiasaan.


Penulis adalah Dewi. Kurniasih, mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam semester VII di IAIN Banten. aktif di LPM SiGMA sebagai Pemimpin Div. Litbang, crew bulletin Fresh dan menjabat juga sebagai Sekretaris General Manager di Radio Komunitas “RDS” IAIN Banten.

Nih harga blog Aq..

Photobucket

Best Friends

© Darjat N © Fetty FN © A.Malik © Endang S © Eva S © Hanna © Juwanda © M. Tohir © Sandi © Wasi'ul Ulum © NeRO714 ©

Want to subscribe?

Subscribe in a reader.

Find Me..

Dengerin Nich!!